Kali ini hujan turun lagi, dengan bulir kenangan sebagai detak, dan ingatan yang membuat retak. Aku masih ditempat yang sama, memandang jauh ke luar jendela dengan secangkir luka di tangan, bayangmu tersamar dalam wangi kepulan uap, dan lagi-lagi, kopi membuatku candu untuk terus mengingat apa yang harusnya sudah dilupakan. Bukankah menurutmu hujan dan kopi merupakan satu perpaduan yang indah? Setidaknya, kau masih tetap terasa nyata dalam setiap tegukan yang ku minum, walau tanpa kau tahu, seringkali kau tinggalkan aku dalam dingin yang tak berkesudahan. Hingga akhirnya ku kumpulkan hujan dikedua mataku dan menaruhnya dalam keranjang kecil yang tak pernah kamu tahu. Saat malam tiba, ku tenun bulir-bulir itu diatas sajadah dengan doa-doa yang juga tak pernah kamu tahu. Seharusnya aku bisa berdamai dengan masa lalu, agar tidurku nyenyak dan tak ada lagi yang harus ku kenang karena sempat kehilangan sesuatu.
Hujan seringkali menabrakku dengan perasaan yang aku sendiri tak tahu. Dan secangkir kopi tentangmu tak jarang ikut menyakiti apa-apa yang ada di hati, namun aku masih terus saja menikmati serpihan sakit yang membuatku tabah ketika meneguknya. Jika saja kau melihat setetes sabar yang ku dekap, barangkali tak perlu pertarungan ego menempati isi kepala kita yang keras. Jika saja kita yang benar-benar kau inginkan, barangkali tak perlu ku hitung seberapa banyak jika yang habis menghajarku setiap malam.
Ku ubah lagi posisi dudukku dengan tangan memeluk lutut, masih ditempat yang sama, memandang jauh ke luar jendela dengan cangkir kopiku yang kedua.
Tuan, aku tak perlu bercerita mengapa aku sangat menyukai hujan dan kopimu. Tapi sosokmu begitu menghangatkan segala yang membeku, meski sisanya sudah berubah menjadi Kristal. Dan di penghujung tahun yang lembab ini, aku membuat sebuah samudera di dasar jiwa, ku tenggelamkan diriku didalamnya; agar aku tak perlu melihat seberapa dalam sayatan yang kau torehkan, atau agar aku tak perlu menyalahkan waktu yang terlalu cepat berlalu. Mungkin Tuhan tak sengaja sedang bercanda dan menjadikan kita segenggam kemungkinan yang tak mudah untuk direlakan. Katakan padaku, Tuan, apa yang sebenarnya hendak kita bunuh?
Pada gerimis yang ke-1460, aku pikir lukaku hampir pulih, namun ada yang terpatri jelas dari semenjak kau memutuskan untuk pergi. Aku masih mencintai, persis seperti pertama kali. Pada cangkir kopi yang entah untuk keberapa, aku kembali mengenangmu dalam tatap yang nanar. Dalam hembusan nafas yang berat, sungguh, kenangan tentangmu membuatku memar. Dari pantulan di jendela, aku bisa melihat seorang gadis yang sedang menikmati luka mahasakit karena masih menyayangi seseorang yang tidak pernah menyayangi, seperti caranya menyayangi. Ku rasa, akan lebih arif rasanya jika bisa mengakui keberadaan sebuah luka.
Aku ingin tahu, apakah petrichor juga membawamu ke masa yang sama? Karena ia menyeretku setiap kali hujan akan turun. Membawaku ke sebuah masa, ketika hati kita masih saling bersahutan, sebelum akhirnya kau memilih pergi dan merangkai bahagiamu sendiri.
Telah ku jadikan kau seluruh kata, tapi kau hempaskan aku bagai jeda.
Ku genggam cangkirku erat, menahan desakan air mata yang berlomba keluar.
Tuan, mencintaimu tak lebih pedih dari kehilangan. Bila kini kau pikir aku mengkhianatimu dengan menemukan seseorang yang baru, kau salah. Cerita tentang mereka hanya datang dan pergi. Namun hanya kau yang tetap tinggal, dari sejak pertama kali. Maka biarkan aku membingkaimu dengan gerimis yang tak pernah mereda dipelupuk mataku, dengan secangkir kopi yang selalu ku seduh belakangan ini, izinkan aku merengkuhmu dalam untaian puisi yang sendu, karena dengan cara itu, aku merasa jarak mendekatkan sekaligus menjauhkan kita. Maaf, aku masih belum bisa melewatkan hari ini begitu saja. Tuan, selamat ulang tahun.
Cianjur, 29 Desember 2015
Dalam gerimis dan cangkir kopi hangat.