Hujan dan Kopi.

29 Dec

Kali ini hujan turun lagi, dengan bulir kenangan sebagai detak, dan ingatan yang membuat retak. Aku masih ditempat yang sama, memandang jauh ke luar jendela dengan secangkir luka di tangan, bayangmu tersamar dalam wangi kepulan uap, dan lagi-lagi, kopi membuatku candu untuk terus mengingat apa yang harusnya sudah dilupakan. Bukankah menurutmu hujan dan kopi merupakan satu perpaduan yang indah? Setidaknya, kau masih tetap terasa nyata dalam setiap tegukan yang ku minum, walau tanpa kau tahu, seringkali kau tinggalkan aku dalam dingin yang tak berkesudahan. Hingga akhirnya ku kumpulkan hujan dikedua mataku dan menaruhnya dalam keranjang kecil yang tak pernah kamu tahu. Saat malam tiba, ku tenun bulir-bulir itu diatas sajadah dengan doa-doa yang juga tak pernah kamu tahu. Seharusnya aku bisa berdamai dengan masa lalu, agar tidurku nyenyak dan tak ada lagi yang harus ku kenang karena sempat kehilangan sesuatu.

Hujan seringkali menabrakku dengan perasaan yang aku sendiri tak tahu. Dan secangkir kopi tentangmu tak jarang ikut menyakiti apa-apa yang ada di hati, namun aku masih terus saja menikmati serpihan sakit yang membuatku tabah ketika meneguknya. Jika saja kau melihat setetes sabar yang ku dekap, barangkali tak perlu pertarungan ego menempati isi kepala kita yang keras. Jika saja kita yang benar-benar kau inginkan, barangkali tak perlu ku hitung seberapa banyak jika yang habis menghajarku setiap malam.

Ku ubah lagi posisi dudukku dengan tangan memeluk lutut, masih ditempat yang sama, memandang jauh ke luar jendela dengan cangkir kopiku yang kedua.

Tuan, aku tak perlu bercerita mengapa aku sangat menyukai hujan dan kopimu. Tapi sosokmu begitu menghangatkan segala yang membeku, meski sisanya sudah berubah menjadi Kristal. Dan di penghujung tahun yang lembab ini, aku membuat sebuah samudera di dasar jiwa, ku tenggelamkan diriku didalamnya; agar aku tak perlu melihat seberapa dalam sayatan yang kau torehkan, atau agar aku tak perlu menyalahkan waktu yang terlalu cepat berlalu. Mungkin Tuhan tak sengaja sedang bercanda dan menjadikan kita segenggam kemungkinan yang tak mudah untuk direlakan. Katakan padaku, Tuan, apa yang sebenarnya hendak kita bunuh?

Pada gerimis yang ke-1460, aku pikir lukaku hampir pulih, namun ada yang terpatri jelas dari semenjak kau memutuskan untuk pergi. Aku masih mencintai, persis seperti pertama kali. Pada cangkir kopi yang entah untuk keberapa, aku kembali mengenangmu dalam tatap yang nanar. Dalam hembusan nafas yang berat, sungguh, kenangan tentangmu membuatku memar. Dari pantulan di jendela, aku bisa melihat seorang gadis yang sedang menikmati luka mahasakit karena masih menyayangi seseorang yang tidak pernah menyayangi, seperti caranya menyayangi. Ku rasa, akan lebih arif rasanya jika bisa mengakui keberadaan sebuah luka.

Aku ingin tahu, apakah petrichor juga membawamu ke masa yang sama? Karena ia menyeretku setiap kali hujan akan turun. Membawaku ke sebuah masa, ketika hati kita masih saling bersahutan, sebelum akhirnya kau memilih pergi dan merangkai bahagiamu sendiri.

Telah ku jadikan kau seluruh kata, tapi kau hempaskan aku bagai jeda.

Ku genggam cangkirku erat, menahan desakan air mata yang berlomba keluar.

Tuan, mencintaimu tak lebih pedih dari kehilangan. Bila kini kau pikir aku mengkhianatimu dengan menemukan seseorang yang baru, kau salah. Cerita tentang mereka hanya datang dan pergi. Namun hanya kau yang tetap tinggal, dari sejak pertama kali. Maka biarkan aku membingkaimu dengan gerimis yang tak pernah mereda dipelupuk mataku, dengan secangkir kopi yang selalu ku seduh belakangan ini, izinkan aku merengkuhmu dalam untaian puisi yang sendu, karena dengan cara itu, aku merasa jarak mendekatkan sekaligus menjauhkan kita. Maaf, aku masih belum bisa melewatkan hari ini begitu saja. Tuan, selamat ulang tahun.

 

 

Cianjur, 29 Desember 2015

Dalam gerimis dan cangkir kopi hangat.

Senja.

10 Nov

Kamu adalah Langit, dari sejak pertama aku berkenalan denganmu, dari sejak aku masih bersama Bumiku yang dulu.

Aku ingin berterima kasih padamu, karena telah mengangkatku saat Bumi membenamkan perasaanku jauh ke dalam tanah, lebih dalam dari segala perkiraanmu waktu itu. Aku lebur. Bumi menghantamkanku jatuh sampai ke dasar, hingga redup segala cahaya jingga yang ku punya, lalu dia meninggalkanku dalam gigil, dalam jurang gelap, dan tak pernah lagi berbalik ke arahku. Namun demi Bumi, aku rela tinggal di dasar sana selama beberapa tahun lamanya, hanya dengan cara itu aku merasa dekat dengan Bumi.

Beberapa pekan kemudian bumi menyadari keberadaanku. “Senja..” untuk pertama kalinya Bumi kembali memanggil namaku, aku menoleh ke atas, rupanya dia sudah mengulurkan tangannya, ku sambut jemarinya dengan hangat. Rasanya seperti semua organ tubuhku berfungsi lagi, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa seperti mati. Setelah sampai dipermukaan, lalu Bumi menghempaskanku pergi, dia bahkan tidak mengizinkan aku untuk sekadar memeluknya; walau lewat tatap. “Aku berjanji akan pergi tanpa air mata..” ucapku pada Bumi yang terlihat baik-baik saja. Tapi aku bohong, aku langgar janjiku. Sepanjang malam aku menangis, memikirkan tempat untuk aku pulang, sementara setiap kali aku berpikir pulang, yang ku ingat hanya lengan Bumi yang mendekapku.

Sampai suatu masa, aku menemukan tempat yang menurutku baik. Ku putuskan untuk menjadi batas antara langit dan bumi; menggantung diantara keduanya. Setidaknya dengan menggantung di langit, aku masih leluasa melihat Bumi jika ku mau. Namun kau bilang, “Akulah Langit, tempatmu bergantung.” Kau mengulurkan tangan seraya menatap ke arahku dengan senyuman. “Aku Senja, yang menggantung dilangitmu.” Jawabku sambil menjabat tanganmu yang tegas. Kau bilang aku boleh menggantung dilangitmu, dan membiarkanku menjadi benalu yang baik untukmu.

Setelah beberapa bulan berlalu, kau nampak bingung dengan kebiasaanku yang setiap hari menggatung dilangitmu, dan aku tak ingin memberitahumu apa yang sebenarnya sedang ku perhatikan setiap harinya. “Apapun yang sedang kau perhatikan, aku siap menjadi tempatmu bergantung, setiap detik.” Aku bersumpah, tatapmu yang teduh membuat air mataku berlomba keluar. Aku tau waktu itu kau kaget ketika melihat cahayaku redup dan digantikan oleh air mata yang mengalir deras, maaf, aku tak bermaksud memperlihatkan semua itu padamu. Hanya saja, selama ini ada desiran sakit di dalam dadaku.

Kau menyanjungku, mengobati segala perih yang tersimpan.

Langit, harus kusebut apa tatapmu yang teduh itu? Semakin lama, aku semakin jatuh dalam pelukmu, bolehkah aku rasakan debar jantungmu? Dan menjadi pengobat peluhmu? Atau, bolehkah aku menjadi tempatmu pulang kalau kau kelelahan?

Kau terus membantuku menjahit luka ini tanpa bosan, menenun harapan baru untukku, membersihkan darah yang bersimbahan di lantai hatiku, serta menyusun kembali kepingan perasaan yang berserakan. Hingga datang satu masa ketika kita saling jatuh cinta, Langit.. tolong izinkan aku mencintai lagi; mencintaimu.

Kau bilang kau menyimpan perasaanmu dari sejak pertama kita bertatap, kau bilang kau menyayangiku dan memintaku untuk menerima kasih sayangmu. Langit, andai kau tahu dengan kau menjahit luka ini, aku sudah membuka hatiku untukmu, kau boleh tinggal didalamnya jika kau mau, untuk waktu yang lama.

Aku ingin mencintai lagi, cinta yang berbeda untuk orang yang juga berbeda. Aku ingin lebih mencintaimu, meski sudah kusiapkan ruang untuk patah. Kau bilang, kau akan menjagaku selama kau mampu, dan akupun ikut berjanji tak meninggalkanmu selama kau juga berjanji tak akan pergi. Kini, aku tak perlu melihat Bumi lagi, aku tak mau.

Akhirnya aku berpindah tempat ke suatu tempat terindah dan terdamai diseluruh muka bumi; pantai.

Aku suka pantai, dan mungkin kaupun suka bermain dengan suara ombak yang merdu atau pasir halus yang malu-malu masuk ke sela jari kakimu. Di sana aku merasa lebih damai, di bawah naungan Langit yang berhasil membuatku mencintai lagi. Langit membuatku merasa diinginkan lagi, kau bilang semua hubungan akan berakhir, namun kau berjanji akan terus mencintaiku selama kau bisa.

Setiap sore, aku dan Langit biasa menatap ke laut lepas, menyaksikan manusia-manusia yang memandang kearah kami berdua, mereka bilang Senja ini indah, namun mereka lupa aku bisa menjadi badai jika tak ada Langit disisiku. Dan di sinilah aku sekarang, memeluk langit tanpa pernah mau melepasnya pergi, semoga kaupun tak bosan dengan segala celotehku tentang semua hal. Langit. Jangan biarkan aku menyembuhkan lagi lukaku sendiri, cukup seperti ini, aku dan kamu.

Senja.

Jika.

28 Aug

Jika ada beberapa jika yang kau kumpulkan disuatu pagi, lalu kau seduh jika itu dengan beberapa jika yang kau pungut disuatu senja, maukah kau menjadi salah satu jika yang ku pajang di tembok kamar? Dengan harapan tak akan ada lagi jika-jika yang kau koleksi disudut hati.

Semua jika yang kau punguti itu mungkin menjadi jikamu di masa depan, dan aku adalah salah satu jikamu yang lelah menerka-nerka segala jika yang kau kumpulkan dalam satu kotak pandora, yang kau isi sebagiannya dengan bunga lalu kau simpan di tempat teraman. Sela-sela hatimu. Aku mendedikasikan diri sebagai jikamu yang lain, yang dengan senang hati menunggu kau mengisi penuh kotak pandoramu dengan bunga, dan berjika-jika mengharap pada akhirnya kau bersusah payah untukku.

Tanggal 3 Untukku.

3 Jul

Hai.. Aku tak tahu harus memulai dari mana, mungkin bagimu hari ini tak ada artinya, mungkin bagimu hari ini hanyalah hari-hari biasa, mungkin bagimu tak ada sesuatu yang istimewa di hari ini, mungkin bagimu hari ini hanyalah hari yang terlupakan, dan masih banyak kemungkinan lain yang bergelayut di ujung pikiranku. Aku selalu tersenyum setiap kali menyadari tanggal di hari ini, bukan, bukan karena kamu pernah hidup dalam memori di tanggal ini atau apa, tapi karena begitu banyak hal yang sudah ku lewati hingga tanggal ini datang lagi, tiba-tiba saja kenangan merangkak masuk dan menari-nari di dalam pikiranku yang kalut, lalu aku merasakan ada sesuatu yang berdesir, dan rasanya sakit. Tuan, rupanya lukaku belum sembuh benar.

Tak apa jika kamu melupakan tanggal ini, tak ada yang harus di ingat; sebenarnya, akupun harusnya sudah lupa namun entah mengapa sekuat apapun aku mencoba, semua tentangmu begitu menempel di dalam ingatanku(baca: hati) atau karena aku yang terlalu malas untuk melupakanmu, entahlah, aku tak mau mencari-cari jawaban untuk segala pertanyaan.

Aku percaya, kini hidupmu jauh lebih bahagia daripada sebelumnya, aku yakin kamu tak memerlukan aku lagi, yang katanya kamu akan tetap membutuhkanku, aku harus sadar kalau itu dulu, dulu dan sekarang itu berbeda bukan? Aku kira, aku akan melewatkan tanggal ini denganmu, sama seperti tanggal-tanggal kita yang lain, dulu. Tapi ternyata aku salah, beberapa bulan yang lalu kamu memutuskan untuk pergi tanpa menoleh ke arahku lagi, dan aku harus belajar merelakanmu. Jangan pernah tanyakan seperti apa rasanya, aku lebur. Namun aku bukan tipe perempuan egois yang seperti kamu pikir, saat kau bilang aku tak pernah mengerti, ataupun tak pernah mau memahami, kamu salah.. aku selalu mengerti, hanya kamu yang tak pernah merasakan, dan aku tak masalah jika harus di salahkan karena kediamanku itu. Aku mengerti jika suasana hatimu sedang kacau. Kita masih sama-sama egois.

Tuan. Tolong beritahu aku bagaimana caranya membunuh rindu ini, terlalu banyak rindu yang menumpuk untukmu, kalau saja kita bisa berbincang layaknya waktu itu, ingin rasanya mencaci-maki rindu ini dihadapanmu. Tapi kau tak mungkin lagi ku dekap dengan hangat, kini kita diselimuti tatap yang membeku, dikelilingi hampa yang berterbangan di udara, menunggu hati saling menyahuti satu sama lain, namun kau tak pernah bersauh di pelabuhan yang ku sediakan untukmu, kau biarkan aku menepuk rindu ini sendiri, hingga sakit yang ku rasakan tak kunjung mereda.

Perlahan, semuanya mulai berubah, kamu benar-benar tak ada di sana lagi, entah siapa yang sebenarnya mengingkari janji. Aku? Kamu? Atau justru kita? Aku berubah, kamu berubah, keadaanpun berubah, dan aku terus berusaha untuk melawan hatiku, berbulan-bulan ku tahan semuanya agar tak tumpah, selama itulah aku terus mencoba untuk baik-baik saja, tapi tak ada yang baik-baik saja selepas kamu pergi, aku menutup hati untuk siapapun yang ingin masuk, tak ada siapa-siapa lagi setelah kamu, hingga saat ini. Maka dari itu ada beberapa hal yang perlu diceritakan dan perlu kamu ketahui, namun sepertinya aku terlambat, kamu terlanjur menutup telinga agar suaraku tak bergema. Kau tutup semua ruang dihatimu, aku tak izinkan kau masuk sementara hatiku tak berhenti mengingatmu, bagaimana bisa bayangmu terus menimbulkan pilu seperti ini? Aku tak perlu untuk kita bersama lagi, aku hanya perlu kita baik-baik saja, sungguh.

Aku lelah menenun luka yang kau sebabkan, aku juga ingin lupa, sama sepertimu. Aku juga ingin menepikanmu, sama seperti kamu menepikan aku. Dan aku muak pada setiap orang yang mengungkit tentangmu padaku, aku muak melihat hal sepele yang mengingatku padamu, aku muak dengan ingatan ini, bahkan aku muak dengan perasaanku sendiri. Aku juga ingin bisa sepertimu. Tapi aku tak mampu, aku tak bisa menepikanmu. Maaf. Aku tak bisa berhenti mengingatmu, aku selalu ingat setiap jalan yang kita lewati di atas sepeda motor kesayangmu, aku selalu ingat film favoritmu, aku selalu ingat kopi yang kau seduh yang katanya bisa membuatmu tenang, aku selalu ingat sifatmu yang lebih mementingkan persaudaraan, aku selalu ingat wajahmu ketika kamu bercerita, aku selalu ingat wajah ketika kamu kesal, aku selalu ingat nada suaramu yang berat, aku selalu ingat genre musik yang sering kamu dengarkan “musik keras, sedikit keras juga gak apa-apa” ujarmu, aku selalu ingat harapanmu untuk hidupmu, aku selalu ingat suara tawamu yang renyah, aku ingat hal-hal kecil yang kamu bawa masuk ke hidupku, terima kasih. Ingatan-ingatan yang ingin ku lupakan ini selalu membuatku bahagia sepanjang hari, meski ada desiran sakit yang bersarang saat ingatan ini muncul, setidaknya aku merasa lebih hidup dan baik-baik saja.

Selamat tanggal 3. Haha sebenarnya aku menahan kalimat yang satu ini dari tadi, tapi aku ingin sekali mengucapkannya padamu, dan aku tak berharap kau mau membaca tulisan bodoh ini atau tidak karena aku tahu kau tak pernah membaca tulisanku. Waktu berjalan cepat, bukan? Satu tahun yang lalu percakapan di tengah malam sampai hampir menjelang shubuh saat kau sedang di Jogja, aku tahu malam itu kamu merasa kesepian, namun sekarang tak pernah ada namamu muncul di layar handphoneku, memang aku tak akan mati tanpamu, buktinya aku masih bisa menjalani hari-hariku sampai sekarang, namun bagaimana jika kamu adalah sebagian dari oksigenku? Yang ku butuhkan setiap waktu? Dan jika pada akhirnya perasaanku tetap tertuju ke arahmu, maaf, aku gagal meniadakanmu dari relungku.

Jadi, apa kabar?

15 Apr

Apa kabar? Semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Tuan berwajah Oriental. Rupanya kamu masih tetap menjadi tema dalam tulisanku kali ini, bagaimana tidak, aku hanya tau bagaimana cara menyayangimu dengan sangat, hingga aku lupa caranya merelakan. Tuan, maaf.. aku masih menyayangimu dengan terlalu.

Hujanku tak kunjung reda, piluku tak kunjung menghilang, dan rinduku kian berbukit. Oh ya, bolehkan jika hanya sekadar merindu? Aku janji, rindu ini tak akan menganggu rutinitasmu. Tuan, aku tak ingin bertanya-tanya tentang siapa yang bertahta di hatimu saat ini, yang aku tahu mungkin sekarang aku telah benar-benar hilang dari perasaanmu, mungkin aku tak lagi berada di sana, dan mungkin aku bukan lagi salah satu sosok yang menjadi alasanmu untuk bahagia. Sakit? Tentu.

Tuan, aku tahu mungkin sekarang kita telah banyak berubah, aku berubah, dan perlahan kamu pun ikut berubah. Aku berubah menjadi perempuan tangguh yang tak takut untuk berkelahi, aku lebih nyaman menggunakan warna hitam; salah satu warna favoritmu, aku lebih berani untuk berpetualang; sama sepertimu, aku lebih tak peduli hampir pada semua hal, aku bisa menempatkan diriku dengan baik, aku tak tahu ini perubahan yang baik atau bukan, sungguh, merasakan lebih banyak rindu hanya akan menyiksaku. Tapi percayalah, aku masih tetap jadi perempuan cengeng.

Tuan, mengapa rasanya masih sesakit ini? Mengapa aku tak bisa merelakanmu? Aku sadar, kamu tak bisa lagi ku genggam dalam nyata, dan segala tentangmu menjadi bumerang untuk diriku sendiri.

Tuan, aku tak ingin melupakanmu, sungguh. Begitu banyak serpihan hati yang harus ku rangkai agar kembali utuh, namun ada beberapa bagian yang terbawa olehmu. Boleh ku minta kembali bagiannya? Supaya aku tetap merasa hidup seperti saat bersamamu, dulu. Tuan, mengapa rindu bisa jadi sesulit ini? Sesulit kau berkata rindu kepadaku. Mengapa kita jadi sedingin ini? Sedingin tatapmu yang tajam. Oh bukan, tatapmu teduh, seteduh langit yang setia memayungi senja.

Tuan, aku tak akan memintamu untuk kembali kalau memang kamu tak ingin, bukankah kamu pernah berkata tak ingin memaksa yang tak mau dipaksa? Aku pun begitu. Aku lebih senang melihatmu bahagia seperti ini, tanpa ada aku. Meski setengah mati ku tahan rindu, setengah mati aku mencoba baik-baik saja, lalu sedikit kenangan tentangmu mampu meruntuhkan segalanya. Tuan, banyak kekacauan yang terjadi di hidupku, dan semakin banyak hampa selepas kau pergi. Terkadang aku ingin sekali mengatakan semuanya padamu, namun aku takut jika nanti kau malah menutup telinga dan memalingkan muka.

Tuan, aku tak tahu apa kamu membaca tulisan bodoh ini atau tidak, aku hanya ingin menegaskan sesuatu. Setelah kau pergi, tak ada lagi yang bisa menggantikanmu. Tuan, maafkan aku yang masih menyayangimu seperti ini, maafkan aku yang terlalu merindukanmu, maafkan semua perasaanku. Inilah kenyataan yang harus ku hadapi, tak apa, aku tak apa. Aku tak bisa selamanya lari. Aku tak bisa selamanya sembunyi. Ada luka yang harus disembuhkan, dan bukan waktu penyembuhnya; tapi kamu.

Tuan berwajah Oriental. Begitu banyak cerita yang telah kita lalui, dan aku tak berhak memaksamu untuk mengingat semua kisah klasik tentang kita. Karena setiap kali mengingatnya, hening menyelimutiku, aku tak mau larut dalam kenangan, sudah terlalu banyak desiran sakit yang ku rasakan. Bagaimana denganmu? Tuan, beritahu aku, apa yang ku rasakan ini salah? Apa rindu harus sesakit ini? Maukah kau datang dan memberiku sedikit udara? Sungguh, aku tak bisa melupakanmu. Karena melupakan tak bisa secepat itu, tak secepat proses jatuh cinta.

Tuan, rekaman suaramu masih ku simpan, aku memutarnya berulang-ulang hingga terlelap, dengan begitu; aku merasa dekat denganmu. Walau faktanya kini kau jauh dan sulit tersentuh, bahkan aku tak bisa merengkuhmu dengan jemari.

Tuan berwajah Oriental. Aku mungkin bukan perindu yang baik, aku hanya bisa memelukmu lewat do’a, dan bertanya kabar lewat kawanmu. Aku mungkin bukan perindu yang baik, aku hanya bisa bercerita tentangmu pada Tuhan, dan mencarimu dalam diam.

Tuan, aku merindukanmu. Aku ingin marah lagi, saat kamu begadang demi mengotak-atik motor kesayanganmu. Aku ingin kesal lagi, ketika kamu lebih mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri. Aku ingin khawatir lagi, seperti saat kamu pulang malam atau sakit. Tuan, seberapa jauh kau akan menghempaskan aku? Seberapa dalam pilu yang harus ku selami? Agar kau tetap di sini.

Teruntuk kamu yang menyukai film Black hawk Down, dan yang menganggap kopi sebagai penenang. Aku masih menunggumu. Menunggu kau membunuh gengsimu, menunggumu walau pilu. Tuan, tak apa kalau kau ingin berjalan menjauh dan memilih melupakanku, menepikanku. Namun yang seperti kamu tahu, aku selalu berdiri tepat di belakangmu, memelukmu erat; lewat do’a dan air mata. Tuan, banyak ketidakmungkinan yang selalu ku khayalkan; termasuk dirimu,

Jadi, apa kabar?

Waktu.

24 Mar

Kamu adalah sisa kenangan yang ingin saya bawa pulang, dan saya seduh dengan air panas, lalu saya hirup aromanya dalam-dalam. Tidak, kamu tak perlu mengingatkan saya tentang seberapa tak nyatanya kamu. Saya tau. Sungguh.

Kamu adalah sisa kenangan yang selalu saya bawa kemanapun; meski faktanya akan menyakiti. Kamu adalah secangkir kopi dipagi hari yang saya tiup kepulan asapnya, dan saya amat sangat mengingat bagaimana rasa dari setiap tegukan. Manis. Awalnya.

Sampai akhirnya saya mengerti bahwa tak ada yang benar-benar tinggal. Ada beberapa hal yang memang seharusnya hilang, tentu kamu tahu alasanya. Ada kalanya semua terpaksa pergi, akan ada beberapa kebiasaan semu yang ditemui, tentu kamu tahu detailnya. Perasaan setelah kehilangan.

Perlahan kamu berubah. Saya berubah. Semua berubah. Lantas saya hanya akan menjadi sisa kenangan yang kamu simpan didalam kotak pandora milikmu, yang kamu tempatkan di kolong ranjang, dan kau lupakan dalam beberapa masa ke depan. Bukankah harusnya memang seperti itu? Tuan, kita tak akan pernah bisa memaksakan waktu.

Kamu. Saya. Kita. Dan bahkan mereka hanyalah sisa kenangan yang akan diingat suatu hari nanti, dan diseduh pada suatu pagi.

(Masih) Untukmu.

17 Oct

Selamat malam, Tuhan.

Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku tulis atau ku jelaskan lebih rinci. Tentunya Kau sudah bisa menerka tentang topik yang aku bahas sekarang ini.. masih tentangnya. Aku harap Kau tak jemu mendengar segala dongeng manis mengenai dia; yang namanya sering ku selipkan dalam do’a. Aku tahu keadaan ini tak akan pernah menjadi mudah; untukku, atau mungkin untuknya, aku hanya mencoba untuk belajar merelakan.. meski hatiku remuk berantakan. Tuhan, bukankah perpisahan itu memang tak sederhana? Tak sesederhana ucapan mereka yang menyuruhku segera melupakan.

Tuhan, Engkau tahu aku bukan tipe orang yang dengan mudahnya menghempaskan segala macam rasa, apalagi rasa sayang yang telah ku pupuk bertahun-tahun lamanya. Aku sadar kalau perpisahan ini menyakitiku; sangat menyakitiku. Namun aku (terpaksa) harus melepaskan, karena untukku, lebih baik sakit sendirian daripada harus ikut membawanya dalam kesakitan. Terlalu banyak cerita yang ingin ku bagi denganMu, namun jemariku rasanya tak mampu lagi mengetik deretan paragraf bernada sendu yang bertemakan dia. Ya, aku hanya bisa menumpahkannya lewat tulisan, meluapkan segala air mata dan juga tawa, meski kadang ku sisipkan tawa disela-sela air mata yang mengalir dengan derasnya.

Untuk kamu; yang selalu kudengar suaranya menjelang tidur, yang selalu menjadi alunan melodi klasik pengantar mimpi.

Aku ada disana, ketika kamu bercerita tentang segala rasamu yang mulai memudar, melawan bulir-bulir bening yang berlomba keluar dari pelupuk mata. Perasaanmu sudah tak sama lagi bukan? Tak seperti dulu, saat aku, kamu jadikan satu-satunya. Hatiku lebur, meski kamu berjanji takkan ada yang lain. Tapi, perempuan kuat mana yang tak menangis kencang, ketika dia tahu kalau pria yang diperjuangkannya tak punya perasaan yang sama? Aku tertunduk. Menatap serpihan hati yang jatuh ke lantai, seiring dengan jatuhnya air mataku. Bukankah kita pernah berjanji untuk tak saling berubah? Apapun keadaannya.

Tak tahu apa yang terlintas dipikiran kali ini. Hanya ada aku, dan kita.. tiba-tiba saja semua kenangan berputar haluan menuju ke arahku, menghantamku dengan banyak memori manis yang kamu sisakan, menabrakku kencang hingga remuk dan terjatuh.

Untuk sesaat, aku selalu merasa kalau aku masih saja menjadi seseorang yang kamu banggakan, tapi sedetik kemudian aku bangun dan kembali menatap kenyataan yang ada.. mungkin dari awal, harusnya aku tahu, aku tak akan pernah jadi siapa-siapa di matamu. Tak bisa menjadi sosok spesial di matamu.

Entahlah. Salahku atau bukan yang pasti semuanya bergulir begitu saja, ingin sekali menyadarkan hati jika kamu tak bisa lagi ku rengkuh bahkan dengan jemari. Tak bisa lagi ku genggam secara nyata.. karena sekarang aku tahu diri. Kamu benar-benar menghilang menitipkan air mata.

Dari jauh-jauh hari terus ku siapkan hati untuk kehilangan. Dan dengan bodohnya ku hempaskan ruang bagi kehilangan singgah, aku lupa kalau setiap manusia tak bisa kekal dalam ikatan. Aku terlalu percaya pada kata ‘selamanya’. Bukan dengan waktu singkat kita membangun semuanya, aku yang salah.

Maaf aku terlalu memaksa kita untuk bersama; meski aku tahu cerita akhirnya akan seperti apa.. sekali lagi, aku terlalu percaya pada kata ‘selamanya.’ Aku malah pura-pura buta dari segala kenyataan yang ada dan selalu ingin kita baik-baik saja. Aku yang terlalu memaksakan semuanya.

Lalu, bagaimana dengan hatiku yang meronta kesakitan akibat perpisahan ini? Aku masih belum bisa berdamai dengan masa lalu; dengan kenangan tentang kamu. Lukaku masih belum sembuh, piluku belum membaik, tapi bayangmu terus saja datang menyelinap dan membuat rinduku semakin sakit. Aku tak bisa menghentikan rasa ini, aku tak mampu menghentikannya. Maaf.

Aku tak mau memintamu untuk kembali, karena aku ‘tak mau memaksakan yang tak ingin dipaksakan,’ tak mau mengenggam yang tak ingin digenggam, tak mau menahan yang sebenarnya ingin pergi dari sejak lama…

Aku. Masih. Sayang kamu..

Lewat Radio.

1 Jul

Halo Tuan sederhana yang berkacamata tebal dan berambut gondrong; yang sering kali berdandan necis di depan layar kaca dengan setelan tuxedo.

Entah bagaimana caranya aku bisa begitu mengagumi suara tanpa pernah memandang wajahmu yang sesungguhnya, tawa renyah yang kadang kamu perdengarkan ketika kamu sedang mengudara di sebuah stasiun radio di sana; membuatku betah dan tak ingin berhenti mendengarkan suaramu yang sebenarnya merdu.

Jujur, aku tak pernah merasa penasaran dengan sosokmu, aku hanya hafal suaramu yang membuatku tersenyum simpul hampir setiap malam. Guyonan-guyonan aneh dan terkesan garing sering terlontar dari suaramu yang berat, lalu kamu mulai menertawakan diri sendiri karena goyunanmu itu, lantas akupun ikut tertawa karena menganggap semua itu manis. Kamu tak malu menertawakan dirimu sendiri karena hal itu, kamu berbicara apa adanya, mengutarakan hal yang perlu di dengar oleh orang lain; aku suka caramu.

Kamu; seorang penyiar yang berhasil merampok semua perhatianku, yang selalu tampil dan berbicara dengan sangat apa adanya. Aku suka saat kamu sudah mulai memainkan gitar dan bernyanyi lagu yang kadang hanya kamu sendiri yang tahu, penyanyi yang sering menciptakan lagu-lagu aneh berbalut lucu, bahkan kamu pernah menyanyikan lagu anak-anak di atas panggung besar dengan kepercayaan diri yang tinggi, gitar berwarna coklat muda yang menjadi andalanmu ketika berada di panggung. Selain penyiar dan seorang vokalis; kamu juga pemain drama yang hebat, kamu mampu menyembunyikan semua masalahmu dibalik suara yang selalu terdengar riang dan ceria, seolah-olah kamu tak pernah merasakan sebuah kesakitan. Tapi aku percaya, semua orang pernah merasa sakit, namun; sebagian dari mereka ada yang memilih untuk menyimpannya sendirian, dan sebagian lagi memilih untuk berbagi. Dan mungkin kamu memiliki kedua-duanya.

Pada akhirnya, suara yang hanya bisa ku dengarkan setiap malam, mengantarku pada rasa penasaran yang sebelumnya tak ada, mengantarkan aku pada sebuah profil di Twitter. Di sana, ku lihat nama yang begitu familiar di telingaku; namamu. Sedetik kemudian aku mengklik sebuah foto yang membuatku penasaran; rupanya wajahmu. Seorang pria dengan kacamata bertipe Lamtosh dan rambut sedikit berantakan sedang tersenyum ke arah kamera, ku telusuri lagi foto lainnya, kali ini kamu terlihat lebih rapi dan keren dengan rambut klimis, tanpa kacamata dan menggunakan kemeja. Entahlah, untukku fotonya sama saja; sama-sama menampilkan wajah seseorang yang selalu membuatku tersenyum kegirangan, tak jarang kamu menyelipkan beberapa kalimat bermakna dibalik ucapanmu yang mengundang segelintir tawa.

Lalu beberapa bulan kemudian, sosokmu mulai melejit menjadi idola di layar kaca. Kesan rapi selalu kamu tampilkan di sana, walau kadang kamu membiarkan rambut gondrongmu tampil apa adanya. Kamu tak henti menampilkan kekonyolan yang lagi-lagi membuatku tersenyum simpul; dengan guyonan garing dan lagu yang sempat kamu ciptakan. Kali ini, telingaku bukan hanya menikmati suaramu yang terdengar merdu, tapi mataku juga, ikut menyaksikan wajah seorang bintang baru yang sering menyambut hari dengan hastag ‘Hantam’.

Aku tak menaruh banyak harap padamu, yang penting cepat selesaikan skripsimu, jangan lama-lama jadi mesin pencetak uang untuk Universitasmu, Mas.

 

 

Dari aku

yang menjadi pengagum

canda dan guyonmu.

Pena Masa Depan.

5 Jun

Aku menuliskanmu lewat pena masa depan, dengan sejumput harapan, dan setetes kedamaian.

 

Di sana aku memang tidak menemukan apa-apa, kecuali wajahmu yang sering kali terbawa ke dalam mimpi. Sementara pena ini terus membawaku jauh mengarungi lautan, menyusuri jejakmu yag sekarang tidak lagi samar, karena lewat mimpi semalam, aku sudah merasa cukup dengan keberadaanmu yang selalu membuatku nyaman. Tak perlu lagi aku khawatir tentang butiran bening yang kadang kala mengalir dengan derasnya; dari pelupuk mata dan juga jiwa.

Lewat pena ini, ku tulis deretan sajak tentang aku dan kamu di masa depan. Ku gambarkan setiap lekukan kejadian yang pernah kita lewati bersama. Dari setiap angin laut yang berhembus; di sana lah aku menemukan sebuah bisikan lembut. Bisikan tentang aku dan kamu di masa depan. Sama halnya ketika kita pernah berjalan di atas pasir yang terburai, mencari yang sebenanya sudah lama kita temukan, sampai akhirnya aku dan kamu ada di satu titik. Saat aku dan kamu saling menemukan dan di pertemukan oleh jemari Tuhan yang kasat mata.

 

Pena ini terus membawaku lebih jauh lagi. Menuju tempat terasing yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya; semestamu.

Selama ini aku hanya mengetahui semestaku sendiri, yang penuh sesak terisi olehmu. Dan kini, aku benar-benar telah menemukanmu dan segala potongan cerita yang selama ini ku susun dengan rapi. Kamu adalah penyeimbang seluruh planet yang berada di dalam semestaku. Bila semestamu lebih luas bak lautan, aku ingin turut mengisi kekosongannya dengan segala cerita tentang aku dan kamu di masa depan.

Aku panjatkan segala pintaku pada Tuhan; tentang aku dan kamu di masa depan. Sementara pena ini terus membawaku berlayar menggunakan sebuah sampat. Di atas sampat aku bermunajat, dengan lautan sebagai saksi. Aku akan selalu menuliskan sebuah kisah klasik; tentang aku dan kamu di masa depan. Dengan perantara ribuan kata yang tak mampu di ungkapkan. Biarkan aku bisu untuk sejenak, karena semua rindu ini tak mampu lagi untuk di redam.

Aku menyayangimu, meski semestaku goyah dan kehilangan kendali. Aku menyayangimu, meski pasir-pasir pantai habis di gerus ombak. Apapun perumpaannya, aku tetap meyayangimu.

Pena ini tak pernah berhenti membawaku berlari, menerobos segala harapan tentang aku dan kamu di masa depan. Lalu aku tak berhenti mengucap syukur pada semesta; karena kamu masih ada dalam putaran rotasiku. Hingga aku kembali pada suatu masa, ketika aku harus mencari kepingan-kepingan hati yang lebur terhantam batu karang, yang pecah menjadi remahan-remahan kecil.

Di sana, aku tetap tidak menemukan apa-apa, kecuali binar matamu; dan deruan ombak yang selalu memaksaku menuliskan sebuah kisah; tentang aku dan kamu di masa depan.

Sama halnya ketika aku menatap jauh lautan biru luas, dengan sebuah pena di tangan kanan dan secarik kertas yang ku genggam erat-erat, mencoba menuliskan kembali tentang aku dan kamu di masa depan. Deburan ombak semakin terasa keras di telingaku, memecah keheningan yang ku ciptakan sendiri. Namun ingatanku, masih tertuju jelas ke arahmu. Telah lama pena ini menuliskan cerita tentang kita; dengan bumbu harapan juga air mata, hingga aku hampir lupa.. jika setiap manusia tidak akan kekal dalam suatu ikatan.

 

Pena ini adalah perasaanku, hanya dengan pena ini aku bisa terus menjelajah di hatimu; karena faktanya, logika tak akan pernah mampu menjamah relung hati manusia. Semoga pena ini tak berhenti menuliskan kisah klasik; tentang aku dan kamu di masa depan.

Derai Rindu.

15 May

Hallo Tuan. Rasanya sudah lama jemari-jemariku tak mengetik sebuah paragraf yang berisi tentangmu, tentang rindu yang selalu bersarang di dalam hatiku, yang hampir usang serta berdebu.

Tuan berwajah Oriental, begitu banyak hari-hari yang kita lewati hingga detik ini, tak terhitung berapa banyak kenangan bahagia maupun air mata yang kita tempuh, telah menumpuk banyak perasaan yang kita tutupi hanya karena sama-sama menahan gengsi. Tapi, aku tak pandai menutupi perasaan dan semua rasa rindu yang menyeruak melalui celah-celah kecil di dalam perasaanku; mereka meluap tak terkendali. Mungkin, aku terlalu menyimpannya sendirian sampai mereka jengah berada di sana untuk waktu yang cukup lama.

Tuan? Maukah kamu berhenti dari segala kesibukanmu sejenak dan menghangatkan kembali hatiku yang hampir beku? Aku membutuhkanmu. Atau, bisakah kita meluangkan waktu berdua hanya untuk sekedar berbagi cerita? Aku rindu suaramu. Tuan, aku tak pernah mengerti. Kota ini terasa sangat kecil untukku, namun, terasa sangat luas untuk kita saling bertemu dan menatap. Terlalu banyak pilar-pilar kokoh yang berdiri dengan tegak tepat di hadapan kita, sementara aku; hatiku, meronta-ronta minta bertemu dengan sosokmu. Tuan, aku tak mampu lagi menahan rindu dan semua perasaanku yang hampir meledak hebat.

Kini rasanya sangat berbeda, setelah hampir berminggu-minggu lamanya aku bergulat dengan bayangmu yang semu. Tuan, kamu begitu nyata, tapi seringkali aku tak bisa menggapaimu, semua perasaanmu.

Entahlah, Tuan. Aku hanya ingin menjadi sosok yang sering kamu ceritakan pada teman-temanmu di sekolah, aku ingin menjadi alasan kamu tersenyum dan tertawa; seperti kamu, yang namanya sering ku jadikan tema ketika berbicang dengan teman-teman, atau bahkan ketika aku berdua dengan Tuhan.

Tuan? Maukah kamu berhenti dari segala rutinitasmu sejenak dan menata kembali hatiku yang porak-poranda di hancurkan rindu? Karena aku lebih dari sekedar remuk.

Tuan, aku berharap kamu ada di sini, menepiskan sepi yang selalu datang tanpa di undang, membiaskan gelap yang selalu ada tanpa perantara, menghancurkan beku; yang membuat hatiku hampir mati rasa. Dalam pekatnya malam, aku terus merapalkan namamu, membawanya hingga aku kelelahan lalu terlelap; tapi tak ada yang mampu sembuhkan rinduku selain kamu; penyebab dari setiap derai tawa yang tercipta.

Tuan. Jika memang kita tak bisa bertemu dalam nyata; boleh kita bertemu dalam mimpi nanti malam? Meski harus ku ukir dengan memar semua mimpi itu, memar karena rindu yang ku punya tak kunjung usai. Tuan? Tolong jangan biarkan aku dan hatiku mati rasa, karena aku masih ingin menyayangimu dengan terlalu, bantu aku, agar aku tetap bisa merasakan bahagia. Tuan, tolong jangan biarkan perasaanku berhenti menggebu, bantu aku mencairkan semua bongkahan es di dalam hatiku ini, dengan segelas hot chocolate-ku, atapun dengan secangkir kopi hangatmu..

Tuan. Semoga rinduku bisa terobati dengan pertemuan kita; lewat nyata, ataupun lewat mimpi di setiap malamnya.

 

 

“Aku harap jemariku takkan pernah berhenti menulis sebuah kisah klasik yang bertemakan kamu; dan kita.”